Selasa, 17 Januari 2012

Novel Tutur Tinular "Nurani yang Tercabik"

Penulis : Buanergis Muryono & S. Tidjab













Tembang yang merdu sekalipun akan membuat sakit telinga Bagi hati yang gundah gulana Bagi jiwa yang lelah dan putus asa Bagi sukma yang terlukai ?


BAGIAN 1

Laki-laki tua itu semakin memelototkan matanya ketika orang itu semakin dekat dengannya dengan napas terengahengah karena berlari.

"Ada apa,Wirot?”

 “Eh, anu, Guru....”

 “Anu, anu, apa? Bicara yang baik. Aturlah napasmu dulu." Sejenak keduanya diam, hanya napas Wirot yang ngosngosan menghiasi hari lengang di rumah Mpu Ranubhaya.

Angin pun seolah-olah tak mau hadir dalam kepengapan jiwa lelaki tua yang sangat sederhana itu.

Murid setianya itu pun akhirnya membuka mulutnya.

"Guru, benarkahMpu Hanggareksa dari sini?”

 “Ya. Ada apa dengan setan mata duitan itu?”

 “Katanya...”

 “Katanya apa?" Mpu Ranubhaya setengah membentak murid setianya ketika bujangan tua itu tidak melanjutkan kata-katanya.

"Saya disuruh memperingatkan Guru.”

 “Memperingatkan perutnya? Orang gila, orang sinting.

Gila uang, gila pangkat dan kedudukan... Ohhh... jagad Dewa Bathara, janganlah bibirku mudah menjadi semayam dosa dan karma. Dunia ini sudah terbalik dan kocar-kacir.

Yang benar menjadi salah dan salah dibenarkan." Mpu Ranubhaya menghela napas dalam-dalam tanpa memandang muridnya. Dadanya terasa sesak sekali.

"Dengarkan,Wirot.”

 “Ya, Guru.”

 “Setan alas itu kemari, mau menyuap aku, agar gurumu ini mau menjadi gedibal pemerintah Singasari. Ia memberikan sekantong uang emas. Kau lihat itu, sisasisanya masih'tersebar di lantai gubuk kita. Ambillah dan buang ke pembakaran sampah, atau kauberikan kepada fakir miskin yang membutuhkan uang itu. Aku tidak butuh uang, aku tidak butuh perak dan emas, aku juga tidak butuh pangkat dan kedudukan. Hanggareksa benar-benar sudah buta." Sekali lagi lelaki tua itu menghela napas dalamdalam, pandang matanya kosong penuh dengan kepedihan.

Seolah-olah nuraninya telah tercabik-cabik oleh sikap dan sifat adik seperguruannya yang semakin mengkhianati nasihat gurunya.

"Apa yang dikatakan orang edan itu padamu,Wirot?”

 “Emh, Mpu Hanggareksa bilang, agar Guru berhati-hati, sebab Guru telah menghina pemerintah Singasari. Guru telah mengutuk Prabu Kertanegara.”

 “Hemh, tanpa aku mengutuknya, sebetulnya Kertanegara dan seluruh Singasari telah terkutuk,Wirot. Haaahh, benarbenar dunia ini telah kacau balau. Kau jangan ikut edan, Wirot. Sudah, sana. Kaukumpulkan uang di lantai itu.

Jangan sampai mengotori rumahku hingga najis oleh uang Kertanegara." Wirot hanya mengangguk lalu segera memunguti uang emas yang masih tertinggal dan tercecer di lantai tanah.

Sebaliknya, Mpu Ranubhaya segera melangkah ke luar.

Terus melangkah meninggalkan gubuk bambunya menuju Sanggar Pamujan di balik bukit.

Langkahnya seperti sangat lelah selelah hati dan pikirannya.

Cahaya matahari semakin terik, udara pun amat gerah.

Mpu Ranubhaya berjalan dibawah bayang-bayang pohon rindang yang meneduhi jalan-jalan setapak yang disusunnya. Ia tidak bisa melukiskan betapa perihnya hati dan sakitnya menghadapi suatu kesucian yang telah dinodai. Kemurnian hati yang dikhianati dan tujuan mulia yang dicabikcabik. Pengabdian yang tidak murni lagi, diinjak-injaknya kebenaran di balik keangkaramurkaan manusia.

Mungkin seperti saat itu di mana ia mencoba menginjak perdu putri malu. Tumbuhan itu serentak menguncupkan daun-daunnya ketika tersentuh. Begitukah hati manusia? Selalu mengabaikan pendirian hidup mula-mula ketika kemanisan dan kenikmatan menghampirinya.

"Tidak! Tidak! Aku tidak mau seperti putri malu, aku tidak sudi menjilat seperti Hanggareksa." Lelaki tua itu berseru-seru hingga suaranya menggaung dan menggema tatkala menyentuh dinding-dinding bukit batu. Ia kemudian berdiam diri sejenak. Bersidekap dan menghirup udara sedalam-dalamnya. Ia rasakan pusarnya terasa dingin sekali, kemudian rasa dingin itu menyebar ke seluruh nadi darahnya. Ia pun merasakan tubuhnya semakin ringan bagaikan tanpa berat. Itulah ajian Seipi Angin. Ajian untuk meringankan tubuh di samping untuk mengatasi kegalauan hati. Lelaki tua yang berpakaian compang-camping dan sangat kumal itu segera melompat dan melayang bagaikan terbang. Tubuhnya melesat dan akhirnya lenyap di balik rerimbunan pohon-pohonan liar.

Pada hari itu juga ketika seorang pemuda tampan sedang mengendalikan kudanya menuju suatu tempat mendadak ia menghentikan kudanya karena seorang gadis cantik menghadangnya di tengah jalan. Pemuda itu segera turun lalu menuntun kudanya menghampiri gadis cantik itu.

Kuda perkasa itu meringkik seolah-olah ingin bertanya kepada tuannya. Pemuda itu mengelus bulu suri kudanya kemudian menepuk-nepuk kepala binatang perkasa itu.

"Kaukah yang bernama Arya Kamandanu?”

 “Ya. Ada apa?”

 “Aku sahabatNari Ratih. Namaku Palastri.”

 “Hmmm! Kalau kau mengajakku bicara tentang Nari Ratih, maaf. Aku tidak bersedia melayanimu.”

 “Jangan begitu. Nari Ratih merasa sangat berdosa kepadamu. Beberapa hari ini dia kelihatan sangat murung.

Tubuhnya kurus dan matanya cekung karena kurang tidur.”

 “Mestinya dia tidak perlu merasa berdosa padaku.”

 “Aku tahu apa yang dirasakannya karena aku sahabatnya yang paling dekat. Nari Ratih sebetulnya masih mencintaimu " Mendengar penjelasan gadis cantik yang mengaku bernama Palastri sahabat Nari Ratih itu membuat Arya Kamandanu tertawa dan terdengar sangat getir, sumbang dan hambar. Pemuda tampan itu memandang dingin kepada Palastri. Memandangnya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Dipandang seperti itu Palastri merasa kurang senang, namun ia berusaha memahami perasaan pemuda tampan di hadapannya yang merasa kecewa atas perbuatan sahabat karibnya.

"Heheheheheh, sudahlah! Sandiwara lelucon ini sudah tidak lucu lagi. Layar sudah diturunkan dan para penonton sudah bubar.”

 “Jadi, kau tidak sudi menolongnya, Kamandanu?”

 “Aku tidak pantas menolong seorang gadis yang kecantikannya bagaikan bidadari.”

 “Kalau begitu kau sebenarnya tidak mencintainya. Kalau kau mencintainya dan cintamu itu tulus dan suci, kau pasti akan menolongnya. Nari Ratih hanya membutuhkan pertemuan denganmu walaupun sekejap mata. Kukira hal itu tidak sulit untuk kaupenuhi, Arya Kamandanu.”

 “Mengapa ia tidak minta tolong pada Kakang Dwipangga?”

 “Ini persoalannya denganmu, bukan dengan saudara tuamu. Hanya kau yang bisa menolongnya untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi kalau kau keberatan ya sudahlah. Asal jangan sampai kau menyesal di kemudian hari. Kalau terjadi apa-apa pada sahabatku itu aku tidak mau tahu lagi!" Selesai mengucapkan kata itu gadis cantik itu pun segera membalikkan tubuh dan berlalu dari depan Arya Kamandanu yang ditinggalkan dengan mata setengah melotot. Nampak bingung dan terkejut, seolah-olah baru sadar dari mimpi panjang.

"Tungguuu.., hee tunggu, Palastri!”

 “Kamandanu, kalau kau akan menemuinya sekarang, pergilah ke tepi padang ilalang." Gadis itu bicara tanpa menghentikan langkahnya, hanya sedikit memalingkan kepalanya kepada pemuda yang dianggapnya terlalu dingin.

Gadis itu bahkan semakin mempercepat langkahnya.

Arya Kamandanu geleng-geleng kepala ketika memperhatikan Palastri yang berkain ketat hingga nampaklah lekuk-lekuk tubuhnya yang sintal dan padat.

Kedua pantatnya bergoyang-goyang bagai dua bola beradu.

Ia tersenyum nyinyir dan getir sekali. Ia hela napas dalamdalam sambil menelan ludah pahit. Pemuda itu kemudian merasa tidak enak, kesal dan gelisah. Ada keinginan untuk bersikap masa bodoh dan tidak mau tahu. Tetapi ketika ia melompat ke atas punggung kuda serta duduk pada binatang tunggangannya itu ia mulai berpikir.

"Nari Ratih! Gadis itu telah mengkhianati cintaku dan sekarang ia ingin bertemu denganku. Apa maksudnya? Atau ia ingin merobek-robek dan mencabik-cabik nuraniku? Atau aku ini pemuda yang tidak pantas untuk memiliki kesenangan hati?" Arya Kamandanu berguman sendiri, kemudian perlahan menarik tali kekang kudanya. Binatang itu meringkik tertahan kemudian kaki-kakinya pun berderap berirama. Memecah keheningan dan meningkahi desau angin yang menggoyang-goyangkan dedaunan Bau harum kembang-kembang liar bercampur dengan bau serangga pun menghampiri penciuman pemuda yang dilanda kegelisahan itu Bau walang sangit yang menampar hidungnya membuatnya terjaga dari lamunan. Bersamaan dengan itu ia menyentakkan tali kekang kuda kuat-kuat hingga kudanya melompat bagaikan terbang dengan meninggalkan suara berderap semakin menjauh dan tinggal sayup-sayup.

Pemuda itu terguncang-guncang di atas kudanya yang berbulu cokelat mengkilat. Tegar dan perkasa. Angin kencang pun menampar wajahnya hingga kadangkala ia terpaksa memejamkan mata untuk mengurangi rasa perih bahkan air mata pun keluar karena terlalu kencangnya kuda itu berlari. Akhirnya kuda perkasa itu pun sampailah di suatu tempat. Tempat yang benar-benar menawan dengan panorama alam. Angkasa dan buana seolah-olah menyatu.

Angkasa langit biru yang berhias awan-awan cirrus, awanawan yang putih halus bagaikan kapas bertebaran.

Di kejauhan tampak gunung dan pegunungan yang biru mengelabu seolah-olah ingin mencium bibir langit yang ranum. Kemudian lembah dan ngarai yang menghijau bagaikan permadani menghampar begitu luas menyejukkan mata yang memandangnya. Sepoi angin dan desaunya menggiring pada siapa saja untuk sejenak memejamkan mata. Agar suara gemerisik dedaunan semakin jelas, agar cericit dan kicau burung pun makin merdu seiring detakdetak jantung hati yang menggema mengucapkan segala puji dan syukur ke hadirat Dewata Yang Agung atas segala kebesaran dan anugerah-Nya yang benar-benar ajaib.

Sengatan sinar surya bukanlah suatu hal yang ganas, tetapi cukup bersahabat sebab seringkah awan yang melintas didera angin mengurangi teriknya.

Arya Kamandanu tersenyum seorang diri, ia pejamkan matanya. Menghirup udara segar sepuas-puasnya yang membawa aroma bunga-bunga hutan, bunga-bunga liar, bunga-bunga rumput dan ilalang.

Namun, ia tersentak tatkala kuda kesayangannya meringkik panjang.

Lagi-lagi ia tersenyum seorang diri sebab binatang itu mungkin tahu bagaimana mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung atas kebahagiaan tersendiri yang menyelinap di lubuk hati tuannya di tengah kepedihannya selama ini.

Pemuda itu pun melompat dari punggung kuda.

Memanjangkan tali kekang kuda itu serta menambatkannya pada sebuah batang pohon perdu. Buih dari mulut kuda yang kelelahan itu menetes di rerumputan seiring dengus yang memburu. Pemuda itu kembali mengelus kepala kudanya. Mengusap bulu suri dan menepuk-nepuk leher kudanya dengan penuh kasih sayang. Kuda itu meringkik manja dan mengangkat kepalanya tatkala tuannya perlahan melangkah meninggalkannya. Tuannya berjalan di antara rumpun-rumpun ilalang yang tumbuh sangat subur hampir sedada.

Pemuda itu kemudian mengangkat kepalanya, dahinya berkerut-kerut. Jantungnya berdebar-debar ketika ia harus menghentikan langkahnya di belakang seorang gadis berambut panjang, hitamdan bergelombang.

Rambut itu berhias seuntai kembang melati yang terangkai di tusuk konde dibiarkan berjuntai di telinganya.

Tusuk konde berbingkai emas itu sengaja diselipkan di rambut di atas telinga kanannya, padahal biasanya rambut itu digelung dan dikunci dengan tusuk konde itu. Rambut hitam panjang bergelombang gadis itu sesekali berderai didera angin sepoi padang ilalang pinggir desa Kurawan.

Gadis cantik itu belum menyadari akan kehadiran seorang pemuda gagah dan tampan yang sejak tadi menahan napas oleh kekaguman dan keagungan ciptaan Dewata yang nyaris sempurna.

Pemuda itu perlahan sekali melangkahkan kaki kanannya dan kembali berhenti. Bibirnya bergetar dan meliuk-liuk tatkala dari sana meluncur suara sangat lirih, "Ratih!" suara yang sangat lirih itu seolah-olah tercekat di tenggorokan pemuda itu.

Gadis yang dipanggil namanya setengah terkejut berpaling pada seseorang yang memanggilnya. Suara yang tidak asing lagi di telinganya. Ia tersenyum simpul. Bibir merah jambu itu bergetar dan meliuk-liuk. Matanya yang bulat besar dan indah tampak sayu, agak cekung. Pada sekitar matanya, pelupuknya tergambar garis-garis kecokelatan. Hidungnya yang bangir tampak mencuat melengkapi keindahan bibirnya yang mungil. Ia tetap menyunggingkan senyuman yang paling indah sekalipun dari sinar wajah itu menunjukkan luka dan duka panjang.

Luka dan duka akan sebuah hati, sebuah nurani yang tercabik. Lalu gadis itu berkata lirih pada seseorang yang selama ini sangat dekat di hatinya.

"Akhirnya kau datang juga, Kakang Kamandanu.”

 “Kau masih membutuhkan kehadiranku di tempat ini?”

 “Jangan begitu, Kakang. Kita pernah menjadi milik tepi padang ilalang ini. Kita pernah menjalin hubungan yang akrab dan manis di tempat ini.”

 “Semua itu sudah berlalu, Ratih." Perih kata-kata itu meluncur dari bibir pemuda itu. Gadis itu kemudian bangkit perlahan sekali dari duduknya. Batu hitam tempat duduknya itu masih kelihatan kelimis dan licin pertanda betapa seringnya batu hitam itu menjadi tempat yang istimewa bagi mereka. Gadis itu berdiri tepat di sisi pemuda yang sangat dicintainya. Kemudian ia pun mendesah sangat lirih.

"Yaah... agaknya begitu, Kakang. Semuanya sudah harus berlalu.”

 “Sebenarnya aku tak ingin pertemuan semacam ini lagi.

Aku sudah menguburkan semuanya. Tak ada yang perlu diingat ataupun dikenang.”

 “Aku yang menginginkan pertemuan ini, Kakang. Bukan kau.”

 “Untuk apa?”

 “Untuk melihat pelangi itu yang terakhir kalinya bersamamu. Pelangi yang penuh warna-warni, indah sekali.”

 “Tidak. Pelangi itu bagiku tidak indah lagi. Mataku justru menjadi sakit setiap kali memandangnya.”

 “Yah, semua ini memang salahku, Kakang. Aku wanita yang berdosa Aku tidak pantas lagi memandang pelangi di tepi padang ilalang ini. Aku mestinya sudah dicampakkan ke dalam lumpur neraka. Aku menyesal, Kakang. Aku menyesal sekali telah mengkhianati cintamu." Desah suara gadis itu kian lelah, bahkan teramat berat, hingga tanpa disadarinya meluncurlah butir-butir bening air matanya di pipinya yang halus dan lembut. Hidungnya kembang kempis memerah mengeluarkan ingus. Gadis itu seolah-olah meratap, namun tidak ada yang mengulurkan tangan buat membelai dan mengasihinya. Hati nuraninya benar-benar tercabik.

BAGIAN 2

Arya Kamandanu pun tidak kuasa untuk memandang lebih lama pada gadis yang saat ini masih melekat di hatinya. Rasa kesal, benci, marah sekaligus kasih cinta masih membalut seluruh hatinya.

Ia mengeraskan rahangnya hingga tampak menonjol. Ia hela napas dalam-dalam untuk menguatkan hatinya. Ia berusaha bersikap lembut pada gadis di depannya. Gadis yang sangat dicintainya sekaligus gadis yang dibencinya karena telah mencabik-cabik cintanya.

"Sudahlah, Ratih. Keringkan air matamu Kasihan bumi tempatmu berpijak kalau harus menjadi sasaran deras air matamu. Bumi itu suci, tidak berdosa.”

 “Memang akulah yang berdosa. Biarlah kusandang beban dosa ini seumur hidupku, Kakang.”

 “Kau dusta. Bukankah kau sudah mendapatkan kebahagiaan yang kau idam-idamkan selama ini? Kau sudah merebut hati Kakang Dwipangga dan sebentar lagi kau akan kenyang mendengar syair-syairnya tentang cinta.”

 “Kakang Kamandanu. Ini bukan persoalan Kakang Dwipangga, ini adalah persoalan kita berdua.”

 “Kita tidak mempunyai persoalan lagi.”

 “Aku ingin minta maaf padamu, Kakang. Aku telah menyakiti hatimu. Bukalah sedikit pintu hatimu untuk menuangkan maafmu.”

 “Baik. Baik. Akan kubuka pintu hatiku selebar-lebarnya agar kau bisa puas memperoleh apa yang kauinginkan.”

 “Kakang, aku ingin ketulusan hatimu.”

 “Jangan bicara soal ketulusan hati. Jangan bicara lagi soal kesetiaan, soal kebajikan, karena semua sudah terbukti.

Kau sudah mengkhianati cintaku!”

 “Jadi, Kakang tidak sudi memaafkan aku?”

 “Mengapa kau tidak berkaca, Ratih? Apa karena merasa dirimu paling cantik lalu kau tidak membutuhkan lagi sebuah cermin?”

 “Kata-katamu terlalu menyakitkan, Kakang!”

 “Perbuatanmu bahkan lebih menyakitkan. Perempuan lacur.Wanita murahan!”

 “Oh, Kakang. Kakang Kamandanu. Kukira kau seorang laki-laki yang bijaksana. Mengapa kau mengeluarkan ucapan-ucapan sekeji itu? Kau menganggapku berdosa karena telah mengkhianati cintamu. Baik, kuterima dengan tabah tuduhanmu itu. Tapi apakah selama ini kau pernah mengutarakan rasa cintamu padaku?" Arya Kamandanu terkesima, ia mengerutkan dahinya memandang pada gadis jelita yang kini bersimbah air mata.

Terisak-isak dan tersedu-sedu. Gadis cantik itu sibuk menghapus air matanya dan menunduk. Sejenak mereka saling diam. Diam membisu seribu bahasa.

Hanya suara isak dan sedu sedan tangis terdengar pilu meningkahi desau angin yang membuat gemerisik ranting dan dedaunan. Masih dalam isak dan tangis, Nari Ratih kembali menyuarakan isi batinnya dengan suara tersendat dan parau.

"Selama ini aku hanya menunggu dan menunggu.

Padang ilalang ini sebagai saksinya bahwa aku selalu menunggu pernyataan cintamu. Tapi sekian lama menunggu, sekian lama pula hatiku kecewa. Kau tetap saja menyembunyikan perasaanmu. Kau tinggi hati. Kau angkuh sekali dan akulah yang menjadi korban cintaku sendiri. Apakah itu adil?" Arya Kamandanu hanya diam membisu ketika Nari Ratih merutuknya Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya karena harus menyeka air mata dan menenangkan hatinya sendiri, lalu ia pun kembali bicara.

"Baiklah. Kalau memang kau tidak bersedia memaafkan Nari Ratih, biarlah aku hidup sampai di sini saja." Secepat kilat gadis Manguntur yang sudah dirundung putus asa itu mencabut sebilah pisau yang tajam berkilat-kilat. Lalu ia mengangkat pisau itu dan hendak menghunjamkan ke ulu hatinya. Namun, Arya Kamandanu segera melompat dan menahan pergelangan tangan gadis itu. Ia gugup dan sangat terkejut.

"Ratiihhh..., jangan! Tahan Ratih!”

 “Oh, lepaskan tanganku, Kakang! Lepaskan!" Gadis itu meronta-ronta dan berusaha keras menghunjamkan pisau yang sudah digenggamnya erat-erat. Namun, cengkeraman tangan Arya Kamandanu yang sangat kukuh tidak mampu melepaskannya. Ia pun terus meronta sambil menjerit tertahan.

"Lepaskan, oohhh, lepaskan! Biar aku mati saja, Kakang! Biar aku mati saja.”

 “Ratih, jangan begitu! Tidak baik membunuh diri sendiri.”

 “Tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku wanita yang penuh lumpur dosa. Aku wanita yang paling hina. Lebih baik aku lenyap dari muka bumi ini. Lepaskan aku, Kakang! Oh, lepaaaaaskan!" Nari Ratih makin hebat meronta dan berusaha melawan tenaga Arya Kamandanu yang makin erat memegang pergelangan tangan serta memeluknya.

"Rattiih! Kau kira dengan bunuh diri urusanmu akan selesai? Kau akan mati penasaran dan kau akan meninggalkan racun yang akan membuat kami semua menderita." Nari Ratih masih memberontak, namun badannya melemas. Pelukan Arya Kamandanu membuatnya sedikit terbuka, dan ia tergetar, sadar dari kenekatannya, "Oh....

Kakang Kamandanu, mengapa pikiranku menjadi gelap sekali? Mengapa?" suara itu seperti menjerit dan merintih.

Tertahan bagaikan tanpa daya.

Tubuh gadis itu melemah dan kesempatan itu tidak disiasiakan oleh Arya Kamandanu untuk merampas pisau tajam dari tanganNari Ratih.

"Ratih! Dalam keadaan seperti ini, kita harus tetap tegar dan tabah. Jangan menuruti luapan perasaan yang akhirnya bisa mencelakakan diri kita sendiri. Nah, pisau ini harus dibuang jauh-jauh." Lalu Arya Kamandanu pun melemparkan pisau tajam itu jauh sekali. Hingga pisau itu melayang dan terhempas di dasar jurang lembah Kurawan. Lekat-lekat ia memandangi Nari Ratih. Wajah ayu itu seperti diliputi kabut, sendu dan mengiba tetapi menyimpan suatu kekerasan hati untuk membuang segala kegundahannya. Ia tidak mampu menghadang dan membalas tatapan mata pemuda tampan di hadapannya. Pemuda itu pun menyimpan luka karena tikaman asmaranya.

Ia tidak tahu, mengapa Arya Kamandanu memandanginya seperti itu. Ia hanya berani mencuri pandang dengan ekor matanya saat pemuda itu berkata, "Pisau itu sudah kubuang jauh-jauh ke dasar jurang. Dia tidak akan bisa membujukmu lagi melakukan perbuatan yang amat nista. Sekarang marilah kita duduk, Ratih. Aku akan bicara denganmu." Lalu Arya Kamandanu membimbing gadis cantik itu agar duduk di atas batu hitam. Kemudian dia sendiri mengambil tempat di sisi Nari Ratih yang masih menahan isak tangisnya. Mereka berusaha menenangkan hati dalam diam sambil menghirup udara segar yang dibawa angin sepoi hari itu.

"Ratih. Sebenarnya kau tidak perlu minta maaf padaku, karena tanpa kau minta pun aku telah memaafkannya.

Karena aku mencintaimu, Ratih “

 “Mengapa akhirnya kita menjadi begini, Kakang?”

 “Yah, karena memang beginilah yang harus kita alami.

Kita bertemu di tepi padang ilalang ini. Kita bercanda di bawah sinar pelangi, dan kita rupanya harus berpisah di tempat yang sama.”

 “Kalau kupikir-pikir, kisah cinta kita ini lucu sekali ya, Kakang? Lucu tetapi tak seorang pun akan tertawa bila ikut mendengarnya. Karena di balik kelucuan itu sebenarnya tersimpan kepahitan.”

 “Yah, setidak-tidaknya kita masih bisa tertawa untuk diri kita sendiri.”

 “Kakang...”

 “Apa, Ratih?”

 “Kalau dulu kau mau berterus-terang, kita tentu tak akan mengalami seperti ini.”

 “Percayalah, bahwa semua ini bukan kehendak kita, Ratih.”

 “Yah, apa yang sudah terlepas dari tangan tak mungkin dipungut lagi karena sudah terjatuh ke bagian kehidupan yang lain. Semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur.”

 “Apa maksudmu, Ratih?”

 “Aku bukan Ratih yang dulu lagi. Aku bukan Nari Ratih kembang desaManguntur yang masih polos dan suci.”

 “Ratih. Bagiku kau tetap Nari Ratih yang dulu. Sama sekali kau tidak berubah, sekalipun sekarang sudah menjadi milik Kakang Dwipangg..." Tangan Nari Ratih dengan gesit mendekap mulut Arya Kamandanu hingga tidak menyelesaikan nama itu. Nari Ratih matanya membulat sambil mendengus, lalu meminta dengan harap.

"Jangan sebut nama itu, Kakang. Kalau kudengar nama itu, hatiku menjadi resah. Pandanganku berkunang-kunang dan bumi rasanya berguncang.”

 “Bukankah kau mencintainya?”

 “Entahlah, aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu, Kakang. Kakang Dwipangga hadir seperti teka-teki kehidupan yang sulit diterka maksudnya. Ah, kalau saja waktu ini bisa dimundurkan kembali.”

 “Itu bertentangan dengan kehendak HyangWidhi, Ratih.

Jangan menginginkan sesuatu di luar jangkauan manusia.

Sudahlah, mari kita akhiri pertemuan ini. Kita saling memuji saja, agar Dewata memberkati perjalanan hidup kita masing-masing.”

 “Ohh, Kakang Kamandanu...”

 “Tepi padang ilalang ini dan sinar pelangi diatas sana akan menjadi saksi bahwa kita pernah dipertemukan.

Mereka pun akan menjadi saksi bahwa kita akhirnya harus dipisahkan.”

 “Oh, Kakang Kamandanu. Namamu akan kukenang sepanjang hayatku.”

 “Aku pun tak bisa melupakanmu, Nari Ratih. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa lega. Aku rela. Aku ikhlas karena saudara tuaku sendiri yang akhirnya menjadi pemuda pilihan hatimu Aku yakin Kakang Dwipangga bisa membuatmu bahagia. Kalian akan hidup rukun sampai kakek nenek, banyak rezeki dan banyak anak.”

 “Oh, Kakang Kamandanu. Begitu mulianya hatimu.”

 “Kau pun wanita yang paling manis yang pernah kukenal, Ratih. Hanya karena sesuatu yang tak akan pernah kumengerti kalau aku melepaskanmu. Mudah-mudahan sikapku ini membuahkan sesuatu yang baik.”

 “Kakang,... sebelum pergi, aku akan memberikan tanda mata untukmu. Terimalah batu nirmala ini. Batu ini pemberian ibuku sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. Terimalah, Kakang. Hanya benda ini yang bisa kuberikan padamu sebagai kenang-kenangan." Arya Kamandanu menerima batu nirmala itu dari tangan Nari Ratih yang terulur untuknya. Kedua tangan itu bersentuhan kemudian saling terjalin lama sekali. Mereka saling meremas dan menggenggam dengan jantung yang semakin cepat berdetak dan menggemuruh.

Bibir Arya Kamandanu bergetar seiring kata-kata yang keluar dari sana.

"Oh, terima kasih, Ratih. Batu nirmala ini indah sekali.

Akan kusimpan batu ini sebagai tanda mata darimu sepanjang hidupku. Akan kupertahankan batu nirmala ini dengan mempertaruhkan nyawaku.”

 “Nah, Kakang. Aku harus pergi.”

 “Pergilah, Ratih! Ringankan langkahmu. Pergilah dan jangan menengok-nengok ke belakang lagi.”

 “Selamat tinggal, Kakang...”

 “Selamat berpisah, Ratih..." Sejenak keduanya saling memandang, tanpa kata-kata.

Lalu keduanya menundukkan kepala dengan desah napas yang tertahan. Hanya alam yang mampu mengartikannya.

Jalinan tangan mereka perlahan berurai, kemudian mereka saling memandang lagi.

Akhirnya, Nari Ratih dengan berat melangkah pergi.

Arya Kamandanu terus menatap gadis Manguntur itu sampai lenyap di balik rimbunnya daun-daun pepohonan.

Mendadak hatinya merasa kosong. Matanya berkaca-kaca.

Dia memang ikhlas tetapi hatinya sakit sekali. Terasa sebagian dari dirinya ikut terbawa oleh kepergian Nari Ratih.

Pemuda itu mengeraskan rahangnya yang kukuh. Kedua tangannya meremas batu nirmala kemudian ia merunduk dan menciumi batu itu. Ia menggeleng-gelengkan kepala seolah-olah baru saja sadar dari mimpi panjang.

Arya Kamandanu baru saja akan melompat ke atas punggung kudanya ketika dari jauh tampak seorang penunggang kuda menghampirinya. Derap kuda semakin mendekat dan akhirnya berhenti beberapa depa di sampingnya. Binatang perkasa itu meringkik panjang setelah penunggangnya melompat turun dari punggungnya.

"Oh, Kakang Dwipangga.”

 “Adi Kamandanu, Ayah mencarimu. Beliau memanggil kita berdua. Sepertinya ada sesuatu yang penting yang hendak beliau sampaikan pada kita.”

 “Kakang tahu aku ada di sini?”

 “Kalau tidak ada di mana-mana, kau biasanya duduk merenung di tepi padang ilalang ini.”

 “Baru saja aku menyelesaikan persoalanku dengan Nari Ratih.”

 “Nari Ratih?”

 “Ya, Kakang. Sekarang tidak ada lagi yang menjadi ganjalan di hati kami. Sekarang aku ingin menyelesaikan persoalan denganmu.”

 “Persoalan apa lagi?”

 “Nari Ratih mencintaimu. Kuharap kau tidak menyianyiakan cintanya.”

 “Adi Kamandanu. Terus terang aku pun mencintainya.

Bagaimana aku menyia-nyiakannya?”

 “Dia akan menjadi isteri yang baik dan aku percaya kau pun akan menjadi suami yang baik.”

 “Adi Kamandanu, kau memaafkan kami berdua?”

 “Ya. Kupikir tak ada yang bisa dipersalahkan Semua sudah menjadi kehendak Hyang Widhi. Aku relakan Nari Ratih jatuh ke tanganmu, jatuh dalam pangkuanmu karena aku yakin kau bisa membahagiakan hidupnya.”

 “Oh, Adi Kamandanu, terima kasih atas pengertianmu yang sangat besar ini. Aku berjanji akan mencintai Nari Ratih sampai akhir hayatku.”

 “Aku bahagia sekali mendengar janjimu itu, Kakang.

Sekarang baru aku merasakan ketenangan." Dua bersaudara itu kemudian berpelukan erat sekali.

Rasa haru menghiasi hari mereka yang sudah saling memberikan pengertian.

Di langit sebelah barat lengkungan sinar pelangi belum lagi lenyap. Warna merah kekuning-kuningan menyebar di seluruh permukaan padang ilalang.

Senja pun mulai turun pada saat Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga naik ke atas punggung kuda masingmasing.

Sebentar kemudian kuda mereka sudah berkejarkejaran di bawah sinar lembayung senja yang indah.

Binatang-binatang perkasa yang keduanya berbulu cokelat mengkilap itu seolah-olah turut bergirang mengikuti suasana hati tuan-tuannya. Mereka yang selama ini saling bermusuhan dan berselisih paham.

Derapnya kian menjauh meninggalkan kepulan debudebu yang terhempas oleh hentakan kaki-kaki kuda itu.

Angin senja semakin kencang hingga pohon-pohon pun tampak condong mengikuti arah hembusannya. Desau dan dera cemara semakin mengguruh bagaikan menyenandungkan sorak-sorai gempita alam yang bersukacita.



Ketika malam telah tiba kedua pemuda itu mengikuti langkah-langkah ayahnya yang memeriksa benda-benda pusakanya. Orang tua itu membetulkan letak benda-benda pusaka itu. Kadangkala menimangnya dan mengelusnya penuh perasaan. Tempat pusaka itu sebetulnya tidak begitu luas, namun penuh dengan sekat-sekat yang terbuat dari papan kayu jati yang sudah dihaluskan. Benda-benda pusaka itu tertata rapi, berderet sesuai dengan jenis dan besar kecilnya ukuran serta pamornya.

Laki-laki tua itu berhenti dan memandang kepada kedua putranya lalu beralih pada senjata-senjatanya.

"Lihat anak-anakku. Senjata-senjata pusaka buatan ayahmu mempunyai mutu yang tak diragukan lagi.
Pemerintah Singasari sudah mengakui secara resmi.
Senjata-senjata buatan Hanggareksa sudah diuji kemampuannya dalam berbagai peperangan. Para perwira pasukan merasa bangga bila di pinggangnya terselip senjata buatan ayahmu. Pamornya akan naik dan keberaniannya menjadi berlipat ganda. Hemhh..., lihat!" Laki-laki tua itu memegang sebilah keris, menimangnya lalu mencabut gagangnya dengan senyum kebanggaan.

Terdengar suara berdencing ketika benda pusaka itu dicabut.

"Keris Naga Tapa. Keris semacam ini banyak disukai para senopati agung yang diturunkan ke gelanggang pertempuran." Kedua putranya hanya mengangguk-angguk ketika ayahnya kembali menyarungkan keris Naga Tapa lalu menempatkan kembali pada sekat paling pinggir.

Kembali laki-laki tua itu meraih pusaka yang lain.
Menimangnya dan segera meraba gagangnya dengan tangan gemetar. Terdengar suara berdencing tatkala ia mencabut pusaka itu. Kedua putranya mengerutkan dahinya sambil menghela napas dalam-dalam.

"Keris Naga Polah. Polah artinya bergerak. Maka bentuknya berlekuk-lekuk seperti seekor naga yang sedang bergerak-gerak. Tuanku Lembu Sora dan Banyak Kapuk menyukai keris semacam ini. Di samping bentuknya indah, keris ini juga ampuh." Laki-laki tua itu menunjukkan beberapa saat pamor keris itu sebelum kembali menyarungkannya pada wrangkanya lalu menaruh benda pusaka itu ke tempatnya semula. Tangannya terulur pada sebuah benda pusaka yang lebih besar. Tangan kirinya mencengkeram benda itu kuat-kuat lalu tangan kanannya meraba gagangnya. Laki-laki tua itu menahan napas saat memegang benda pusaka yang cukup besar itu.

Wrangkanya terbuat dari kulit kerbau yang cukup umur, tampak bersih mengkilap karena cukup terawat dengan baik. Sambil mencabut benda pusaka itu laki-laki tua itu menjelaskan pada putranya, "Pedang atau klewang.
Perhatikan jenis logamnya. Tidak begitu berat, tapi kerasnya melebihi batu-batuan dari langit." Laki-laki tua itu mengangkat tinggi-tinggi pedang itu.
Sisi-sisi mata pedang itu tampak bersinar dan berkilat-kilat ketika tertimpa cahaya pelita yang menerangi ruangan penyimpan benda pusaka itu. Laki-laki tua itu menghela napas dalam-dalam dan menyimpannya dalam perut kemudian dengan sekuat tenaga mengayunkan pedang itu pada sebuah balok kayu.

"Hiaaaaahhhh!" terdengarlah suara berderak-derak balok kayu yang terbelah sempurna. Dengan bangga sekali lakilaki tua itu memandang pusaka buatannya dan melirik pada kedua putranya yang mengerutkan dahi dan menganggukangguk melihat kehebatan senjata buatan ayahnya.

"Berapa ribu kepala terputus dari tubuhnya dengan senjata semacam ini ketika terjadi perang besar antara pasukan Kediri melawan pasukan Tumapel. Desa Ganter menjadi saksi pembunuhan besar-besaran itu." Laki-laki tua itu segera menyarungkan pedang ke dalam wrangkanya dan menaruhnya kembali pada tempat semula.
Setelah beberapa saat lamanya mereka bertiga membenahi letak senjata-senjata pusaka, ketiganya duduk pada bangku panjang dalam ruangan itu. Cahaya pelita minyak tampak berkedip-kedip tertiup angin yang menembus dinding papan. Bau apek dan kurang sedap warangan pusaka memenuhi ruangan itu, namun mereka sudah tampak biasa dengan bau-bauan seperti itu. Laki-laki tua itu menyapu keringat dengan tangannya, mengatur napas dan memandang kedua putranya.

"Nah, anak-anakku. Kalian berdua harus mewarisi keahlian ayahmu dalam hal pembuatan senjata pusaka ini.
Kalian harus mampu mencipta keris Naga Tapa yang ampuh seperti yang dimiliki Gusti Ranggalawe yang bernama Megalamat. Kalian juga harus mampu menciptakan keris Naga Polah, juga harus bisa membuat pedang-pedang yang tajamnya melebihi pisau pencukur.
Kalian juga harus mampu menciptakan tombak-tombak yang nantinya diperhitungkan pihak musuh. Kalian harus terus belajar dan menggali pengetahuan tentang senjata pusaka sebagai tanda bakti pada orang tua. Dwipangga dan kau Kamandanu.”

“Ya, Ayah," jawab keduanya berbareng.

"Ketahuilah. Ada satu hal yang menjadi ganjalan di hati ayahmu dalam hal memelihara dan mengembangkan usaha pembuatan senjata pusaka ini.”

“Apakah itu, Ayah?" tanya Arya Dwipangga.

"Ada seseorang yang kemungkinan bisa menjegal usaha kita ini.”

“Siapa, Ayah?" tanya Arya Kamandanu "Kalian tentu kenal dengan baik. Dia sahabat ayahmu sendiri.”

“Barangkali yang Ayah maksudkan Paman Ranubhaya?" Arya Kamandanu menangkap arah pembicaraan ayahnya.
Laki-laki tua itu memandang putra bungsunya kemudian beralih pada putra sulungnya.

Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum getir "Ya. Kakang Ranubhaya-lah orangnya.”

“Bukankah Paman Ranubhaya selama ini membantu ayah membuat senjata pusaka? Sudah berapa puluh senjata pusaka pernah dikirim kemari melalui Wirot, muridnya yang setia," sela Arya Kamandanu.

"Itu dulu, Kamandanu. Sekarang dia tidak mau bekerja sama lagi dengan ayahmu. Mungkin dia mempunyai maksud-maksud tertentu.”

“Mungkin Paman Ranubhaya sudah merasa tua dan merasa tidak sempurna lagi dalam bekerja menciptakan senjata pusaka," kata Arya Kamandanu berusaha membela Mpu Ranubhaya "Kalian tidak perlu ikut campur urusan ini. Kalau Ranubhaya tidak mau bekerja membantuku dan itu karena maksud-maksud yang kurang baik, Hanggareksa yang akan turun menghadapinya. Kamandanu!”

“Ya, Ayah.”

“Kau masih sering datang ke rumahnya?”

“Eh, ya... sekali waktu, Ayah. Soalnya Paman Ranubhaya sangat baik pada saya," jawab pemuda itu agak gugup.
"Mulai sekarang kau tidak kuizinkan menginjak halaman rumahnya lagi. Dulu dia memang kakak seperguruanku.
Karena itu kalian sudah sepantasnya memanggilnya paman.

Tapi dia sekarang sudah menjadi orang lain. Bahkan orang yang kuanggap bisa membahayakan usaha-usaha kita."

Arya Kamandanu dan Arya Dwipangga berpandangan mendengar kata-kata terakhir ayahnya. Mereka tidak mengerti apa-apa, tetapi mereka menangkap sesuatu yang tidak sehat lahir dari hati ayahnya. Tampak sakit dan getir sekali ucapan itu terlontar dari bibir ayahnya yang hitam dan mulai mengisut. Akhirnya, mereka segera keluar dari ruangan penyimpanan senjata. Kembali ke kamar masingmasing dengan membawa hati dan pikirannya sendirisendiri.
Mereka berpikir yang jauh lebih menyimpang dari apa yang dikehendaki orang tuanya.

odwo Malam kian merayap dan embun bercampur kabut mulai meniti waktu. Di tempat lain, di sebuah rumah papan cukup besar dengan pekarangan yang sangat luas. Di dalam salah satu kamar rumah itu duduklah seorang gadis dengan rambut awut-awutan. Wajahnya kusut dan kedua tangannya mendekap perutnya yang melilit-lilit. Dari bibirnya selalu mendesiskan suara yang kurang jelas.
Tampak seperti rintihan dan lolongan panjang. Seorang laki-laki agak tua berdiri di depannya dengan dahi beranyam kerutan. Laki-laki itu menghela napas kemudian memperhatikan putrinya yang terisak-isak.

"Ratih! Kalau kau terus menangis begitu, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa menolongmu. Kau harus bicara terang-terangan pada ayahmu, Nari Ratih.”

“Saya tidak' apa-apa, Ayah. Saya tidak sakit.”

“Kau seharian tidur di atas pembaringan dan mengeluh kepalamu pusing. Kau juga tidak mau makan dan tadi Palastri memberi tahu padaku, bahwa kau muntah-muntah di sungai ketika sedang mencuci pakaian. Apakah itu bukan penyakit?" laki-laki itu kembali cemas dan setengah mendelik curiga saat putrinya mendekap perutnya semakin erat. Merunduk dan merintih. Bibirnya tampak menebal karena selalu terbuka. Hidungnya merah kembang kempis seiring air mata yang terus mengalir membasahi pipinya.

"Ada apa dengan perutmu, Ratih?”
“Ehh, tidak...apa-apa, Ayah...”

“Kok diremas-remas begitu?”

“Sssssshhh, agak mules, Ayah. Biar sajalah.”

“Kok biar sajalah bagaimana kau ini?”

“Sudah biasa, nanti juga sembuh sendiri.”

“Bagaimanapun yang namanya penyakit harus diobati.”

“Saya sudah minum ramuan daun-daunan, Ayah. Nanti juga sembuh.”

“Hmmh, kau di rumah. Aku akan keluar sebentar.”

“Ke mana, Ayah? Ini sudah malam.”

“Jangan banyak bertanya, aku akan memanggil Nyi Warih!”

“Oh, jangan, Ayah. Tidak usah, nanti juga sembuh sendiri!" Laki-laki itu tidak mempedulikan panggilan putrinya lagi. Ia segera membalikkan tubuh dan keluar dari kamar putrinya serta menutup daun pintu kamar sedikit kasar.
Nari Ratih merunduk dan wajahnya memucat karena sakit dan cemas. Jantungnya menggemuruh berdetak semakin cepat. Napasnya terengah-engah karena ketakutan mulai merayap dan menjalari seluruh perasaannya.

"Ohh, bagaimana ini? Bagaimana kalau Ayah sampai tahu? Oh..." Gadis itu tidak bisa berbuat lain kecuali pasrah pada keadaan. Perlahan kembali ia berbaring dengan mendekap perutnya yang semakin mual dan melilit-lilit.
Bagaimanapun juga hati Nari Ratih tidak tenteram.

Lebih-Lebih malam itu di dalam kamarnya telah hadir seorang perempuan tua yang memeriksa perutnya dengan mengurut, meraba dan meniup-niupnya sambil komatkamit menggumam membacakan mantera dari bibir keriputnya. Tangan perempuan tua itu dirasakan sangat lembut mengusap perut Nari Ratih. Gadis itu setengah merintih sambil memejamkan matanya. Tubuhnya menggelinjang, kedua kakinya ditekuk dan diselonjorkan lagi. Dari bibirnya selalu mendesah dan mendesis.

"Oh..., NyaiWarih... sakit, Nyai.”

“Hemhh, tidak apa-apa kok." Perempuan tua itu kemudian bangkit setelah menyelesaikan tugasnya. Nari Ratih diselimuti selembar kain. Gadis itu mencuri pandang kepada perempuan tua yang dipanggilnya Nyai Warih yang berdiri di sampingnya kemudian beranjak meninggalkannya sambil berkata, '"Istirahatlah, Nduk. Hati-hati.”

“Iya, Nyai Warih," jawab gadis itu sambil menghela napas dalam-dalam. Hatinya semakin berdebar-debar dan perasaannya tak menentu.
Terdengar derit pintu dibuka dan ditutup dengan halus oleh perempuan tua itu, suaranya berderit menyayat keheningan malam.
Malam kian merayap, di luar terdengar lolong anjing liar yang kelaparan. Rekyan Wuru, orang tua Nari Ratih duduk di ruang tengah dengan sangat cemas. Ketika tahu Nyai Warih datang menghampirinya, ia pun segera bangkit dengan dahi beranyam kerutan.

"Bagaimana, Nyai?" tanyanya penasaran dan sangat lirih.

"Hehhh. Bagaimana bisa terjadi begini, Rekyan Wuru?”

“Berat sakitnya, Nyai?”

“Sakit anakmu ini bisa dikatakan berat, tapi bisa pula dikatakan tidak berat. Tapi, bagaimana aku harus mengatakannya padamu,Wuru?”

“Katakan saja, Nyai. Aku sanggup membayar pengobatannya. Dia anakku satu-satunya. Aku rela berkorban apa saja demi keselamatannya.”

“Hmmm. Sepanjang penglihatanku, anakmu itu jarang pergi ke luar rumah.”

“Memang, Nyai. Dia anak yang baik. Paling-paling dia pergi ke luar hanya untuk mencuci pakaian di sungai.
Memang sekali waktu dia minta izin ke rumah temannya.

Tapi itu jarang terjadi. Ada apa, Nyai?" Rekyan Wuru semakin cemas dan mendekatkan bibirnya ke telinga perempuan tua itu.
Nyai Warih kemudian melangkah dua tindak dan duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati tua. Kursi itu tampak mengkilap sebab sering diduduki.
Kelihatan ringan sekali perempuan itu meletakkan pantatnya. Kedua tangannya bertumpu pada pangkuannya.
Menghela napas kemudian memandang ke arah Rekyan Wuru sangat tajam. "Kalau saja anakmu sudah bersuami, hal ini justru merupakan berita yang menggembirakan.”

“Nyai Warih, apa maksudmu, Nyai?" Rekyan Wuru matanya melotot dan menubruk lutut perempuan tua itu sambil menggoyang-goyangkannya. Lelaki tua itu benarbenar penasaran.
Perempuan tua itu memegang tangan Rekyan Wuru kemudian membimbingnya agar lebih tenang duduk di kursi di sampingnya.

"Wuru, kau jangan terkejut. Aku terpaksa mengatakan apa adanya. Anakmu, Nari Ratih sekarang ini sudah siap memberimu seorang cucu " Seketika Rekyan Wuru duduk melemas. Jantungnya serasa mau lepas. Otot-otot tubuhnya seperti dilolosi.
Matanya berkaca-kaca.
Jawaban Nyai Warih yang terus terang bagaikan sambaran petir di telinganya. Tapi dengan tiba-tiba juga ia kemudian bangkit. Kedua tangannya mengepal. Terdengar giginya gemeretak menahan geram.

"Cucu? Aku akan mempunyai cucu?" ucapnya seperti tidak percaya.
"Ya. Anakmu sedang mengandung tiga bulan lamanya.”

“Mengandung? Bagaimana Nari Ratih bisa mengandung? Dia belum bersuami, Nyai. Ratiiiih! Kemari kau anak setaaann.
Kubunuh kau!" lelaki itu berteriak bagai kesurupan setan. Wajah Rekyan Wuru menjadi merah padam. Giginya semakin gemeretak. Kedua tangannya mengepal, napasnya memburu dan lelaki tua itu hendak melangkahkan kakinya menuju kamar putrinya. Bekas perwira pasukan Singasari pada zaman pemerintahan Prabu Ranggawuni itu benar-benar tidak mampu menahan emosinya, "Ratih.... Keluar kau!”

“Sudahlah, Wuru, jangan diapa-apakan anakmu itu.
Kasihan. Dia juga sudah menderita karenanya," cegah perempuan tua itu sambil memegangi pergelangan tangan lelaki tua itu dengan kedua tangannya.
Napas Rekyan Wuru terengah-engah. Ia benar-benar marah dan menahan kegeraman. "Dia sudah berani melempari mukaku dengan kotorannya! Anak setan. Ratih! Apa telingamu sudah budeg? Ayoh, sini kau! Sini! Ayahmu mau melihat mukamu yang cantik tapi belepotan comberan ituu! Ratiihh... sini!" Mendengar panggilan ayahnya yang berkali-kali dan sangat keras itu, Nari Ratih menggigil sendirian di kamarnya. Ia mendekap perutnya makin erat Perlahan ia bangkit dan membuka pintu kamarnya. Ketika melangkah keluar kamarnya, ia tidak berani mengangkat wajahnya.
Lebih-lebih ketika ia tahu mata ayahnya melotot merah padam dan sangat berapi-api menahan amarah.

"Kemari kau anak setan!”

“Oh, maafkan saya, Ayah!" suara itu nyaris tak kedengaran keluar dari bibir mungil Nari Ratih yang berjalan merunduk sambil mendekap perutnya.


BAGIAN 3

Rekyan Wuru mengibaskan pegangan Nyai Warih yang sangat erat hingga perempuan itu hampir terpelanting jika tidak memegang sandaran kursi. Laki-laki tua itu melangkah cepat menghampiri putrinya. Tangan kanan laki-laki tua itu terangkat dan melayang di udara, "ini maaf untukmu, Ratih!" Bersamaan dengan suara tamparan yang sangat keras itu Nari Ratih memekik dan menjerit disusul dengan isak tangis pilu. Gadis itu pun berlutut di kaki ayahnya dengan sedu-sedan mohon dikasihani dan diampuni.

Rekyan Wuru napasnya terengah-engah. Dadanya terasa sesak sekali Nyai Warih pun menggigil sambil berusaha mencegah supaya gadis itu jangan disakiti lagi. Perempuan tua itu kembali memegangi tangan kiri Rekyan Wuru yang hampir kalap. "Wuru, sudahlah! Ini sudah malam. Nanti para tetangga datang kemari.”

“Aku mau lihat apa ada yang berani datang ke rumahku!" Mata lelaki itu kian liar dan merah membara, melotot pada putrinya yang terisak dan merunduk di kakinya. "Ratih! Dari kecil kau kugendong-gendong, kubopong-bopong. Kalau rewel kau kunyanyikan tembang yang merdu. Kau kupelihara dengan baik. Kau kusayangi sepenuh hatiku dan sekarang seperti ini balasanmu kepada orangtua. Hiiiihh! Hiih, hihhhh!" Kembali tangan kanan lelaki' tua itu melayang dan mendarat di pipi kanan dan pipi kiri putrinya.
Nari Ratih menjerit pilu. Jika Nyai Warih tidak segera menubruk dan merangkulnya pasti ayahnya sudah menghajarnya hingga babak belur.
Tubuh perempuan tua itu kini menjadi perisai, menjadi pelindung gadis yang tidak berdaya itu.
Dalam keciutan dan kecemasan hatinya kini ia bagai seekor anak ayam di bawah sayap induknya. Gadis itu semakin pilu menangis tersedu-sedu.

"Wuru, jangan kau apa-apakan anakmu. Kasihan, ia cukup berat menanggung beban.”

“Ratih! Katakan! Siapa laki-laki itu? Siapa namanya dan di mana rumahnya! Katakan, siapa bedebah itu! Hooooh, apa dia belum tahu Rekyan Wuru? Apa laki-laki itu sudah bosan hidup? Ratih, apa kau sengaja membuatku naik darah, haaah?”

“Sudahlah, Wuru, sudahlah! Bagaimanapun juga dia anakmu sendiri. Darah dagingmu sendiri. Kaupukul sampai mati pun kalau belum terbuka hatinya, dia tak akan mau bicara.”

“Kalau begitu biar kubunuh saja anak setan ini!" kembali Rekyan Wuru hendak menendang dan memukul putrinya, namun perempuan tua yang terkenal sebagai seorang dukun bayi itu semakin erat memeluk gadis itu. Bagaimanapun juga ia sebagai wanita yang masih bisa merasakan masalah seperti itu. Ia adalah ayam betina, ayam induk yang harus mampu melindungi anak-anaknya dari serangan elang buas.
Perempuan tua itu melirik Rekyan Wuru yang masih melotot.
Mata Rekyan Wuru merah karena benar-benar sangat marah dan tidak sabar lagi menerima kenyataan yang dialami anak gadisnya.

"Jangan, Wuru! Jangan begitu! Kalau dia mati, siapa yang kehilangan?" cegah Nyai Warih saat laki-laki tua itu hendak menjambak rambut Nari Ratih.

"Kalau dia tak mau buka mulut, bagaimana persoalan ini bisa selesai, Nyai!”

“Masih bisa dicari cara yang lain, Wuru. Jangan menuruti panasnya hati. Salah-salah anak sendiri menjadi korban." Nyai Warih semakin erat memeluk Nari Ratih.
Rekyan Wuru membalikkan badannya sambil memelintir kumisnya. Mengelus janggutnya dan melenguh panjang seperti sapi jantan lepas dari talinya.

"Nduk, Ratih! Sudahlah. Lebih baik kau masuk ke dalam. Kau tampak lelah sekali, lebih baik kau tidur saja.
Tidurlah, Nduk. Urusan ini biar ayahmu yang menyelesaikan." Sementara waktu mereka saling diam. Hanya isak pilu gadis itu terdengar mengiba. Rekyan Wuru berusaha mengendalikan dirinya. Namun masih juga jengkel melihat putrinya yang tidak mau menjawab semua pertanyaannya.
Ia melangkah beberapa tindak sambil memandang putrinya.
Kali ini pandangannya agak meredup.

"Kalau kau tetap membisu seperti itu, masalahmu tidak akan selesai!" kesal dan perih sekali suara lelaki tua itu.
Nyai Warih bangkit seraya memapah Nari Ratih dan diajaknya ke dalam kamar. Dibiarkannya gadis itu duduk di sisi pembaringan sambil mengeringkan air matanya.

Perempuan tua itu membelai rambut gadis itu kemudian merunduk dan mencium pipi kanan Nari Ratih penuh kasih sayang. "Tidurlah, Nduk! Kau harus banyak istirahat," bisiknya lirih. Nari Ratih hanya mengangguk kemudian menghela napas penuh penyesalan dengan apa yang dilakukannya.
Perempuan tua itu kembali ke ruang tengah di mana Rekyan Wuru duduk gelisah. Kali ini mata perempuan tua itu menjadi terbelalak dan melotot besar. Jantungnya berdetak lebih cepat ketika melihat di pangkuan lelaki tua itu terdapat sebilah pedang.

Melihat gelagat yang kurang baik itu ia tidak berani berkata apa-apa saat lelaki tua itu menoleh kepadanya sambil bangkit dan menimang-nimang benda tajam itu.

"Kalau dia tidak mau mengaku siapa laki-laki yang telah mencemarkan kesuciannya itu. Kukira tidak ada jalan keluar, Nyai.”

“Coba sekarang kauingat-ingat lagi. Siapa kira-kira pemuda desa ini yang pernah akrab dengan anakmu.”

“Ratih itu masih perawan kencur, Nyai. Belum pengalaman. Pengetahuannya tidak lebih luas dari pekarangan rumahnya sendiri. Dia keluar rumah hanya kalau mencuci pakaian di sungai. Itu pun tidak lama dan pasti ada kawannya gadis yang lain “

“Kalau begitu kau kurang awas, Wuru. Aku saja yang bukan tetangga dekatmu pernah mencium berita dari mereka, orang-orang desa. Bahkan aku pernah melihat pemuda itu menghampiri anakmu, lalu mereka bercakap cakap sampai lama.”

“Siapa pemuda itu, Nyai? Mengapa orang-orang tidak ada yang memberi tahu padaku?”

“Barangkali mereka sudah tahu watakmu dan merasa sungkan untuk menyampaikannya padamu,Wuru.”

“Siapa orang itu, Nyai? Apakah warga desa Manguntur atau pemuda dari desa lain?”

“Anak Manguntur juga.”

“Siapa namanya?”

“Dangdi." Mendengar jawaban Nyai Warih seketika Rekyan Wuru seperti sadar dari lamunan panjang. Kepalanya ditarik ke belakang dengan mata melotot. Dihempaskannya napasnya kuat-kuat hingga terdengar kasar sekali dengusnya. Gagang pedang dirabanya perlahan sambil tetap melotot memandang ke arah perempuan tua di depannya. Kemudian berpaling lagi memandang ke ujung malam melalui pintu rumahnya yang tidak ditutup Laki-laki tua itu melangkah beberapa tindak dengan dada mengguruh. "Dangdi? Maksudmu...?”

“Ya, Dangdi anak Suraprabawa, Kepala Desa Manguntur," jawab Nyai Warih yang membuat darah RekyanWuru kembali menggelegak.

Kemarahan Rekyan Wuru sudah memuncak sampai ke ubun-ubun kepalanya. Dicabutnya pedang itu hingga terdengar bunyi berdencing. Sambil tersenyum menyeringai geram lelaki tua itu menimang-nimang senjata tajam yang berkilat-kilat tertimpa cahaya pelita.

Nyai Warih sampai bergidik melihatnya. "Wuru, aku pulang dulu," pamitnya sambil melangkah pergi tanpa menghiraukan lelaki yang sudah terlalu lama menunggu berlalunya malam.
Lelaki itu sedikit gugup lalu ia pun segera mengantarkan perempuan tua itu pulang


BAGIAN 4


Pagi-pagi buta tampak seorang lelaki tua berjalan setengah berlari. Pada pinggangnya terselip sebilah pedang.

Napasnya terengah-engah. Wajahnya tampak sangat tegang. Kakinya yang telanjang menggugurkan embunembun pagi di pucuk-pucuk rumput. Lumpur tanah merah pun banyak yang melekat di sela-sela jari kaki dan tumitnya yang kasar. Sinar matahari masih malu-malu di ufuk timur, hanya semburat cahayanya meraba punggung bumi yang masih berhias selimut kabut. Laki-laki tua itu menuju suatu tempat.

Langkahnya yang tegar itu akhirnya berhenti di balik pagar beluntas yang mengelilingi pendapa.

Bangunan itu terdiri dari tiga bangunan utama yang semuanya berbentuk joglo dan beratap sirap. Lantainya terbuat dari papan-papan kayu jati yang sudah dihaluskan.

Laki-laki tua itu matanya berkilat-kilat dan berwarna merah karena amarah dan kurang tidur semalam. Pada sudut kedua matanya tampak belobok, tahi mata yang tidak sempat dibersihkan Napasnya semakin memburu dan terdengar dengus kasar sekali. Kedua tangannya berkacak pinggang dan kedua kakinya memasang kuda-kuda.

"Haiiiii, Suraprabawa! Keluar dari rumahmu! Suraprabawa, jangan merasa dirimu menjadi Kepala Desa Manguntur lalu kau mau berbuat semena-mena terhadap keluargaku! Hayo, keluar kau Suraprabawa! Iniiii aku RekyanWuru mau bicara denganmu!" Mendengar suara berteriak dari halaman rumahnya maka orang yang dipanggil namanya itu melongokkan kepala dari balik pintu dengan langkah tergopoh-gopoh.

Wajahnya tampak kuyu, matanya masih enggan terbuka karena masih terdapat sisa-sisa ngantuk, "Siapa itu yang berteriak-teriak di pagi buta begini?”

 “Aku! Bukalah matamu lebar-lebar, Suraprabawa dan lihat siapa yang berteriak-teriak di halaman rumahmu." Rekyan Wuru semakin memelototkan matanya.Melangkah beberapa tindak ketika melihat Ki Suraprabawa melangkah ke halaman dengan mengerutkan dahinya karena tidak mengerti apa yang dikehendaki tamunya.

"Ohh, kiranya Rekyan Wuru yang datang," sapanya lirih dan terus mendekati tamunya.

"Yah, aku mau bicara denganmu, Suraprabawa. Aku mau bicara sebagaimana seorang laki-laki berbicara.”

 “Ada persoalan apa, RekyanWuru?”

 “Suraprabawa! Kalau kau tidak mampu menghajar anakmu yang berandalan itu, serahkanlah padaku! Biar kubuat dia mengerti bertingkah laku yang baik.”

 “Ada apa dengan anakku?”

 “Dangdi, anak laki-lakimu itu, sudah berani menepak mukaku. Anakmu sudah berani mencoreng wajahku.”

 “Tenanglah, Rekyan Wuru! Mari kita bicarakan secara baik. Mari, masuklah ke dalam!" ajak Ki Suraprabawa bersabar, namun Rekyan Wuru justru tampak semakin gusar dan mendenguskan napas seperti banteng terluka.

"Tidak! Kita rampungkan di sini saja.”

 “Seorang tamu yang baik tentu akan mau dipersilakan masuk ke dalam rumah.”

 “Aku bukan bertamu.”

 “Lalu apa keperluanmu?”

 “Aku mau menuntut hakku! Aku mau membuat perhitungan denganmu." Rekyan Wuru menggeram dan mendelik. Tangan kanannya tidak sabar ketika mencabut pedang. Suara berdencing saat benda tajam itu keluar dari wrangkanya.

Mata pedang itu berkilat-kilat.

Melihat gelagat yang kurang baik itu Ki Suraprabawa mundur dua tindak karena terkejut.

"RekyanWuru!Mengapa kau mencabut pedangmu?”

 “Anakmu sudah menghina keluargaku dan itu berarti kau menghina aku. Kalau aku mencabut pedang, itu pertanda bahwa harga diriku tidak terima.”

 “Huuu, kalau kau bisa sesumbar dengan pedangmu itu, aku pun bisa melakukan hal yang sama!" jawab Ki Suraprabawa sedikit meninggi sambil perlahan tangan kanannya meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya. Perlahan sekali pedang itu dicabut dari wrangkanya.

Benda tajam itu terhunus nyaris tanpa mengeluarkan suara. Ki Suraprabawa tersenyum dingin, disambut dengan tawa bernada olokan Rekyan Wuru yang semakin memperkukuh kuda-kudanya Ki Suraprabawa pun melakukan hal yang sama.

"Selama menjadi Kepala Desa Manguntur, baru kali ini aku menyambut tamuku dengan cara yang sangat tidak ramah. Tapi semua itu karena kau memaksa aku, Rekyan Wuru. Nah, apa maumu sekarang?”

 “Bagus! Rupanya kau orang tua yang punya tanggung jawab juga. Nah, sekarang kita selesaikan perkara ini secara jantan.”

 “Aku belum tahu perkara apa yang kaumaksudkan, Rekyan Wuru. Tapi kalau kau menggunakan pedangmu itu untuk menyerangku, maka dengan terpaksa aku mempertahankan diri." Kedua lelaki tua itu semakin erat memegang pedang masing-masing. Kaki kanan Rekyan Wuru maju selangkah.

Napasnya mendengus Tangan kanannya tampak gemetar mencengkeram gagang pedang. Sebaliknya, Ki Suraprabawa berusaha tenang sambil berjaga-jaga penuh. Perlahan menghirup udara pagi dan menyimpan di perut seiring memantapkan posisi kuda-kudanya. Pada saat itulah Rekyan Wuru tibatiba menyerang, melompat dan menebaskan pedangnya ke kanan dan ke kiri.Menghunjam, menusuk dan mencecar ke arah Kepala DesaManguntur.

Ki Suraprabawa berusaha menangkis dengan pedangnya, maka terjadilah perkelahian sengit di pagi buta itu.

Denting pedang dan suara ribut-ribut itu mengundang perhatian penduduk di sekitar tempat itu. Mereka berusaha menghentikan keributan itu. Dua laki-laki tinggi besar menubruk dan mendekap Rekyan Wuru agar tidak menyerang Ki Suraprabawa. Laki-laki tua itu tak berkutik dalam dekapan dua orang tinggi besar yang berusaha menyabarkannya.

Rekyan Wuru meronta dan berusaha melepaskan diri.

Napasnya terengah-engah memburu. Butir-butir keringat telah membasahi dahi, hidung dan seluruh tubuhnya.

Matanya mendelik dan merah. Akhirnya, ia pasrah pada para tetua yang melerainya.

Ki Suraprabawa mengusap lengannya yang tergores oleh pedang Rekyan Wuru. Ia berusaha tenang dan bersabar.

Berkali-kali ia menggeleng-gelengkan kepala setelah menyarungkan kembali pedangnya. Ia mengelus kumis dan janggutnya sambil menghela napas, kemudian mengurut dadanya yang masih tampak tersisa bekas-bekas seorang yang memiliki ilmu bela diri. Gempal dan padat di balik kulitnya yang mulai mengendur.

"Ayo Suraprabawa, suruh pergi orang-orangmu ini! Kita lanjutkan pertarungan ini sampai salah seorang di antara kita menjadi bangkai!" tantang Rekyan Wuru sekalipun ia dipegangi beberapa orang.

Pada saat itulah tampak seorang pemuda lari tergopohgopoh mendekati tempat keributan. Pemuda itu masih kuyu dan matanya merah oleh sisa-sisa kantuknya. Berkali-kali ia menggosok-gosokkan punggung tangannya ke pelupuk matanya yang terasa gatal dan tebal. Sisa-sisa tahi mata tampak mengering di sudut-sudut matanya. Pemuda itu semakin mendekat dan ia terkejut sekali menyaksikan apa yang ada di depan matanya. Pemuda itu memperhatikan ayahnya dari ujung kaki sampai ke ujung rambut.

Tampak darah segar menghiasi lengan kiri ayahnya.

"Ayah, ada apa? Mengapa berkelahi dengan Paman Wuru?”

 “Heh, kaukah yang bernama Dangdi?" seru Rekyan Wuru beringas dan berusaha melepaskan diri, namun usahanya sia-sia.

Dangdi tidak berani mendekat. Matanya seperti kanakkanak karena cemas mendengar seruan lelaki tua itu "Eh, ya. Benar, Paman. Saya Dangdi.”

 “Kau harus kubuat babak belur, anak setan!”

 “Eh, tunggu! Tunggu!" Dangdi tampak gugup. Ayahnya mendera dengan tangan kanan hingga pemuda itu berada di belakangnya.

Ki Suraprabawa menatap tajam ke arah Rekyan Wuru yang berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang memeganginya.

"Rekyan Wuru! Kalau kau sentuh anakku sebelum persoalannya kaujelaskan, urusan ini akan menjadi panjang! Aku Kepala Desa! Aku bisa menuduhmu mengacau Desa Manguntur dan melaporkannya pada Pemerintah Singasari.”

 “Sebenarnya ada persoalan apa, Ayah?”

 “Dia menuduhmu telah mencoreng mukanya. Entah apa maksudnya, aku tidak tahu.”

 “Dangdi! Terus terang saja, supaya perkara ini tidak berlarut-larut. Apa yang telah kaulakukan pada anakku, Nari Ratih?" Pemuda itu mengerutkan dahi, memandang ayahnya kemudian beralih pada Rekyan Wuru. Menggigit bibirnya sendiri sambil berusaha keras meraba-raba apa sebetulnya yang dikehendaki orang tua Nari Ratih.

"Apa yang telah saya lakukan? Rasanya saya tidak pernah melakukan...”

 “Kau telah merusak kesuciannya! Kau telah menodai anakku!”

 “Oh, tidak! Saya tidak pernah melakukannya!”

 “Banyak orang melihat kau berusaha mendekati anakku.

Jangan mangkir kau, Dangdi.”

 “Benar. Saya memang berusaha mendekati Nari Ratih, tapi putri Paman wuru tidak pernah menanggapinya.

Setelah itu saya pun tidak mau mendekatinya lagi.”

 “Dusta!”

 “Tidak. Saya tidak berdusta. Banyak saksinya bahwa saya tidak pernah lagi menggoda Nari Ratih.”

 “Dangdi! Berilah kesaksian yang benar! Akuilah kalau memang itu perbuatanmu!" sela Ki Suraprabawa dalam dan bijaksana.

"Sungguh, Ayah. Saya tidak melakukannya.”

 “Kalau kau berani berdusta, kupotong lidahmu. Aku tidak peduli walau kau anakku sendiri.”

 “Saya tidak melakukannya, Ayah. Tapi rasanya saya tahu siapa pemuda yang tidak sopan itu. Pemuda yang berbuat tidak senonoh pada Nari Ratih.”

 “Siapa, katakan cepat!" bentak Rekyan Wuru tak sabar sambil meronta ingin melepaskan diri tetapi kedua pangkal lengannya tetap dipegangi orang-orang di kanan kirinya.

"Dia bukan anak desa Manguntur.”

 “Iya, siapa namanya dan di mana dia tinggal?" bentak RekyanWuru.

"Dia anak desa Kurawan. Namanya Arya Kamandanu." ?

@@@

Serentak orang-orang yang mendengarkan peristiwa itu bergumam dan manggut-manggut. Perlahan-lahan kedua lelaki tinggi besar yang memegangi Rekyan Wuru merenggangkan pegangannya kemudian melepaskan lelaki tua itu.

Rekyan Wuru menghela napas dan dengan cepat menyarungkan pedangnya. Mukanya merah padam menahan marah. Ia menatap tajam pada Dangdi yang berdiri di samping ayahnya.

Ki Suraprabawa memelototi putranya dengan rasa kesal, "Maksudmu anakMpu Hanggareksa?”

 “Ya, Ayah. Pasti dialah orangnya.”

 “Nah, bagaimana, Rekyan Wuru?" tanya Ki Suraprabawa dengan nada dingin sekali. Rekyan Wuru mendengus dan melangkah beberapa tindak sambil menatap tajam ke arah Dangdi.

"Dangdi! Awas kalau kau berkata tidak benar! Aku akan kembali lagi ke sini!”

 “Kalau Dangdi berani berdusta, aku sendiri yang akan membereskannya," tukas Ki Suraprabawa tegas sambil menatap putranya.

"Baiklah, aku minta maaf, Suraprabawa. Aku telah membuat keributan di pagi buta ini," Lirih kata itu terucap dari bibir Rekyan Wuru yang bergetar.

"Tidak apa, Rekyan Wuru. Ini hanya kesalahpahaman biasa. Aku bisa memaklumi perasaanmu. Kalau kau membutuhkan sesuatu yang menyangkut diri putrimu, katakanlah. Aku sebagai Kepala Desa Manguntur akan membantumu.”

 “Terima kasih. Nah, aku pergi dulu." Lelaki tua itu dengan perasaan malu karena telah bertindak gegabah segera bergegas meninggalkan desa Manguntur. Hatinya terasa panas, mukanya merah padam karena semua orang memandanginya dengan pandangan dingin dan mencemooh. Ia berlalu tanpa menoleh ke belakang. Dengan napas terengah-engah akibat usia tuanya, Rekyan Wuru terus melangkah setengah berlari menuju desa Kurawan.

Burung-burung kutilang yang sedang berkicau di dahan pohon bengkereh terkejut ketika lelaki tua itu melintas dekat semak-semak. Unggas-unggas liar itu beterbangan dengan cericit panjang.

Embun-embun pagi masih melumuri rerumputan dan pucuk-pucuk daun. Matahari semakin merayap menyingkirkan kabut-kabut pagi yang menghalangi pandangan di cakrawala.

Lelaki tua itu menghentikan langkahnya saat mendengar derap kaki kuda mendekat. Ia melihat seorang pemuda tampan menunggang kuda perlahan menuju arahnya.

Segera ia memasang kuda-kuda sambil bertolak pinggang.

Tangan kanannya meraba gagang pedang. Ia menggeram dan mendengus panjang ketika penunggang kuda itu menghentikan kudanya tepat di depannya karena ia hadang.

Binatang tunggangan itu meringkik saat tuannya melompat dari punggungnya.

"Ada apa, Paman? Mengapa Paman menghadang saya?”

 “Anak muda. Apakah daerah ini sudah masuk desa Kurawan?”

 “Ooo, Paman mau ke Kurawan? Sembilan pai jauhnya dari sini Paman akan menemukan tugu batas desa itu.

Paman jalan saja terus ke arah selatan.”

 “Kau anak desa Kurawan?”

 “Ya, Paman. Saya lahir dan dibesarkan di Kurawan.”

 “Kau tahu di mana rumahMpu Hanggareksa?”

 “Oh, Paman mau menemui ayah saya?" Lelaki tua itu melotot, darahnya tersirap dan seperti mendidih. Seolah-olah ia ingin menelan pemuda di depannya itu mentah-mentah.

Pemuda itu semakin tidak mengerti melihat gelagat semakin tidak ramah dari lelaki tua yang menghadangnya.

Lelaki tua itu melangkah dua tindak mendekatinya.

"Anak muda! Jadi, kau anak Hanggareksa?”

 “Benar, Paman. Saya anaknya. Nama saya Arya Kamandanu.”

 “Bagus! Kebetulan sekali. Aku tidak perlu berjalan jauh lagi. Aku bisa merampungkan urusanku di tempat ini.

Kamandanu!”

 “Ya, Paman.”

 “Kau jangan coba-coba memungkiri perbuatanmu yang tidak senonoh!”

 “Eh, apa maksud Paman? Saya, saya...”

 “Jangan berlagak bodoh. Kau tahu, dengan siapa kau sedang berhadapan sekarang ini? Akulah Rekyan Wuru.”

 “Oh, Paman Wuru dari Manguntur. Bukankah Paman adalah ayahNari Ratih?”

 “Ya. Aku ayah Nari Ratih. Aku ayah gadis yang sekarang ini sedang menderita akibat perbuatanmu.

Hiaaaahh, mampus kau Kamandanu!”

 “Oh, tunggu, tunggu.... Tungguuu..., Paman! Tunggu..." Lelaki tua itu sudah tidak mau mendengarkan lagi. Ia menyerang, menerjang dan menjotos Arya Kamandanu.


BAGIAN 5



Pemuda itu melompat ke sana kemari menghindari serangan lelaki tua itu. Ia benar-benar tidak mengerti apa sebetulnya yang telah terjadi. Arya Kamandanu berusaha tidak menyerang. Ia melompat mundur dan ingin mendapatkan penjelasan orang tua itu.

"Paman! Apa salah saya? Mengapa tiba-tiba Paman menyerang saya?" tanya Arya Kamandanu dengan terengah-engah. Lelaki tua di hadapannya pun napasnya tersengal-sengal dan melangkah beberapa tindak mendekatinya sambil meludah dan membuang muka.

"Kau sudah menodai kesucian anakku! Sekarang kau akan menerima balasan dari ayahnya! Hiaaaa, hiaaaaatthh...!" Kembali lelaki tua itu mencecarnya dengan pukulanpukulan dahsyat. Arya Kamandanu menangkis dan melompat menghindar bagaikan seekor burung Srikatan mengejar capung. Karena beberapa jurus pukulan lelaki tua itu tak ada yang bersarang padanya maka orang tua itu menghentikan serangannya. Berdiri memasang kuda-kuda sambil tersenyum menyeringai memendam amarah yang telah memuncak.

"Bagus! Kau cukup tangkas juga! Tapi jangan sebut Rekyan Wuru kalau aku tak mampu membuatmu mencium tanah dalam dua gebrakan ini!" selesai berkata Rekyan Wuru menarik kaki kirinya selangkah.

Tangannya membuka dan menutup di depan dada untuk membuka jurus serangannya. Gerakan-gerakan zig-zag itu tampak kokoh bagaikan banteng yang hendak menyeruduk.

Kemudian lelaki tua itu benar benar menggebrak Arya Kamandanu dengan dua gebrakan panjang.

Tangan kanannya yang mengepal keras bersarang pada dada dan perut pemuda itu.

Pemuda itu mundur terhuyung sambil mendekap perutnya yang mulas, mual seperti mau muntah. Sakit dan seperti diuntir-untir. Ia mendelik roboh di tanah. Terduduk dengan napas terengah-engah. Ia berusaha memandang lelaki tua yang kini menjambak rambutnya hingga memaksanya menengadah dengan mulut setengah terbuka Lelaki tua itu pun terengah-engah. Tubuhnya basah, dahinya berkilat-kilat oleh keringat yang membanjir.

"Ayo, Kamandanu! Apa katamu sekarang?”

 “Saya... saya tidak akan berkata apa-apa. Terserah Paman Rekyan Wuru!" jawab pemuda itu terbata karena menahan rasa sakit yang kian melilit.

"Jadi, kau sudah mengakui kesalahanmu?”

 “Kesalahan mana yang Paman maksudkan?”

 “Bedebah! Kau tikus busuk, masih juga mengaku tidak bersalah!”

 “Saya benar-benar merasa tidak bersalah “

 “Kau sudah menodai anakku. Kau rusak kehormatannya! Kau mau mengakui atau tidak?”

 “Tidak.”

 “Kurang ajar! Hiiiiihh!" Lelaki tua itu menghempaskan Arya kamandanu hingga pemuda itu menggelosor di tanah.

Belum puas dengan satu hempasan kembali tangannya menampar, kakinya menendang tubuh Arya Kamandanu yang tidak memberikan perlawanan.

Pemuda itu mengaduh kesakitan.

Laki-laki tua itu membiarkan Arya Kamandanu menggelosor di depannya. Bahkan kaki kanannya kini menginjak punggung pemuda itu.

"Dengar! Walaupun sudah tua, sudah beruban seluruh rambutku, tapi untuk membuatmu mampus aku masih sanggup.”

 “Apa sebenarnya yang Paman kehendaki dari saya?”

 “Pengakuanmu! Kalau kau mau mengakui kesalahanmu, maka urusannya tidak akan terlalu panjang. Tapi kalau kau masih bertahan, mau memungkiri perbuatanmu, nah! Aku tidak segan-segan membuatmu cacat seumur hidup, Kamandanu!”

 “Paman Wuru, saya tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah saya lakukan.”

 “Apa? Coba kau ulangi sekali lagi!”

 “Saya tidak akan mengakui perbuatan yang tidak pernah saya lakukan!”

 “Kamandanu!" kaki kanan lelaki tua yang bertengger di punggung Kamandanu menjejak hingga pemuda itu kembali tersungkur mencium tanah. Lelaki tua itu meraba gagang pedangnya dan menghunus senjata tajam yang menggantung di pinggangnya penuh amarah. Diangkatnya pedang itu tinggi-tinggi hingga mata senjata itu berkilat-kilat tertimpa cahaya matahari yang semakin merayap naik.

Laki-laki tua itu menggeram bagaikan harimau hendak menerkam mangsanya.

"Kau jangan membuatku semakin naik darah.Walaupun orang tua, tapi aku bukanlah tergolong orang penyabar.

Kalau kau masih berusaha mungkir, aku akan membunuhmu di tempat ini juga.”

 “Paman Wuru! Saya berani karena saya merasa benar.

Kalau saya merasa benar dan tidak berani menghadapi keadaan, maka namanya saya pengecut," nada ucapan pemuda itu mantap dan berani. . Hal itu membuat lelaki tua itu semakin geregetan dan kesal.

"Kurang ajar! Jadi, kau menantangku?”

 “Paman Wuru tidak usah ragu-ragu! Saya tidak akan melawan. Saya tahu Paman Wuru sebenarnya orang yang baik. Saya justru kasihan sekali, mengapa Paman Wuru harus mengalami seperti ini. Saya kenal Nari Ratih. Saya pernah bersahabat dengannya.”

 “Sudah! Sudah! Jangan ngoceh ngalor-ngidul! Aku tidak butuh mendengar nasihatmu!”

 “Jadi bagaimana? Kalau Paman menganggap saya bersalah dan mau membunuh saya, lakukanlah! Saya tidak akan melawan sedikitpun. Saya akan menyerahkan leher saya agar Paman Wuru merasa puas." Rekyan Wuru tertegun mendengar kata-kata Arya Kamandanu. Suaranya terdengar jujur dan penuh keberanian. Tapi karena hatinya masih panas maka orang tua itu buru-buru mencampakkan pengaruh tersebut.

Digenggamnya gagang pedang semakin erat. Tangannya gemetar menahan luapan amarah di dadanya.

"Kamandanu! Akuilah bahwa kau yang menodai anakku. Dengan begitu, persoalan ini bisa segera dibereskan Barangkali kalau nasibmu mujur aku akan mengawinkanmu dengan anakku. Tapi kalau tidak, aku akan menyerahkanmu kepada Kepala Desa Manguntur agar perbuatanmu ditangani yang berwajib.”

 “Sudah saya katakan, bahwa saya tidak mungkin mengakui apa yang tidak saya perbuat.”

 “Bedebah! Kubunuh kau sekarang juga! Hiyaaaaaaaahhhhh!" Pedang Rekyan Wuru yang sudah tergenggam di tangannya dan menggantung di udara kini diangkat tinggitinggi.

Berkelebat berkilat-kilat dengan deras meluncur ke arah leher pemuda itu.

Pemuda itu tidak mengelak, ia sudah pasrah pada nasibnya. Dalam hatinya ia hanya bisa memohon keadilan pada HyangWidhi. Jantungnya menggemuruh menanti apa yang telah menimpanya.

Teriakan dan pekikan suara Rekyan Wuru membuat bulu kuduknya merinding. Lelaki tua itu matanya mendelik, seluruh tubuhnya gemetar hebat.

Berbarengan dengan senjata tajamnya yang nyaris menyentuh kulit leher pemuda itu, namun bersamaan dengan itu berkelebatlah sesosok bayangan yang menangkis hunjaman senjata tajam itu. Terdengar dentingan keras.

Dua senjata tajam beradu. Sekarang muncul di hadapannya seorang lelaki yang lebih tua darinya mencecarnya dengan sebilah pedang. Rekyan Wuru terkejut dan mundur beberapa tindak.

"Kunyuk jelek! Siapa kau berani turut campur urusanku?”

 “Hehehehe, aku memang seperti kunyuk jelek Tapi kau pun tidak lebih tampan dari seekor kambing buduk Heheheheh!”

 “Kau jangan membuka perkara denganku! Apa kau tidak kenal siapa diriku? Rekyan Wuru, bekas prajurit Singasari Pernah menjabat sebagai perwira yang membawahi dua ratus orang.”

 “Hebat! Hebat yah? Tapi apa gunanya kau katakan hal itu padaku?”

 “Supaya kau segera enyah dari sini.”

 “Hehehehe, jangan begitu.Menakut-nakuti orang dengan cara seperti itu tidak baik. Mengapa tidak kaukatakan saja siapa dirimu yang sebenarnya?”

 “Apa maksudmu?”

 “Kau adalah Rekyan Wuru, warga desa Manguntur yang sudah peyot. Mungkin dulu waktu masih muda kau pernah jaya. Tapi sekarang ini kau tidak lebih dari orangtua yang kurang bijaksana.”

 “Kurang ajar! Kau menghina aku! Hiaaattthhh!" Rekyan Wuru menerjang dan menggebrak lelaki tua dengan pakaian compang camping dan kumal itu. Namun, lelaki jelek di hadapannya itu begitu trengginas, gesit melompat menjauhinya setelah menangkis sabetan pedangnya Rekyan Wuru menghentikan serangannya dengan napas terengah.

Ia perhatikan betul-betul lelaki tua di hadapannya dengan mata melotot....Napasnya terengah-engah. Di bibirnya mencibir sebuah senyuman getir. Ia melangkah beberapa tindak dengan langkah kuda-kuda.

"Kau... kau punya kebisaan juga rupanya? Siapa namamu?”

 “Nah, nah, Rekyan Wuru! Napasmu sudah kembang kempis seperti seekor ikan mujair kekeringan. Bagaimana kau masih berani menyombongkan diri?”

 “Kalau kau masih belum pergi dari tempat ini, jangan salahkan aku kalau pedang ini akhirnya ikut bicara!" Lelaki tua berpakaian kumal dan compang-camping itu tidak menghiraukan ancaman Rekyan Wuru, sebaliknya ia berpaling pada pemuda yang masih menggelesot di rumput.

Serta merta pemuda itu bangkit dan mendekati lelaki tua yang memanggilnya dengan lambaian tangan.

"Kamandanu!”

 “Eh, ya, Paman Ranubhaya.”

 “Menyingkirlah kau, berdiri agak jauh! Kambing peyot ini agaknya perlu diajar makan rumput yang benar.”

 “Baik, Paman," pemuda itu kemudian mundur beberapa langkah menjauh dari arena pertarungan.

Lelaki tua berpakaian compang-camping itu mengelus gagang pedangnya lalu bertolak pinggang dengan senyum sinis pada Rekyan Wuru yang dibuatnya penasaran.

Dalam benak Rekyan Wuru terselip sekilas ingatan sebuah nama lelaki tua yang bertolak pinggang di depannya. Tetapi ia tidak mau ambil pusing, kepalang tanggung untuk mengurungkan niatnya.

"Hemh, jadi kau yang bernamaRanubhaya?”

 “Nah, apa maumu sekarang, Rekyan Wuru? Jangan bocah kencur yang kaujadikan sasaran kesombonganmu, tapi marilah yang tua-tua ini mawas diri sedikit.”

 “Persetan dengan omonganmu! Hiaaaaatt...

.Hiaattthhh...!" Dua gebrakan dilancarkan cukup gencar ke arah lelaki tua berpakaian compang-camping itu, namun apa yang diduga Rekyan Wuru sungguh meleset. Dua tebasan pedangnya hanya menebas udara hingga tubuhnya terpelanting. Tenaganya seperti terbetot hingga napasnya semakin terengah-engah. Kesal dan penasaran sekali Rekyan Wuru dibuatnya. Ia berdiri gamang, antara menyerang atau menghentikan percekcokan itu. Ia berdiri sambil menatap tajam Mpu Ranubhaya yang tersenyum dingin sambil menghela napas. Lucu sekali sinar wajah lelaki tua itu.

"Bagaimana, Rekyan Wuru?”

 “Tunggu, kau menggunakan jurusNaga Puspa.”

 “Ayo, kerahkanlah seluruh tenagamu! Keluarkanlah seluruh sisa-sisa kepandaianmu.”

 “Dari mana kau peroleh jurus Naga Puspa, Ranubhaya?”

 “Apa perlunya kau tahu asal-usul jurus kepunyaan orang lain? Kalau kau merasa gentar letakkanlah pedangmu, dan segera minta maaf pada anak muda itu.”

 “Setan belang! Jangan kaukira dapat menundukkan aku segampang itu! Hiaaaahhhh..., hiaaaahhh...!" Denting-denting pedang terus berlangsung setiap tebasan kedua lelaki tua itu berbenturan di udara. Keduanya samasama gesit dan lincah. Mula-mula Rekyan Wuru menyerang sangat gencar pada Mpu Ranubhaya, namun kemudian keadaan menjadi berbalik. Ia kerepotan melayani serangan-serangan menggigit lelaki tua renta itu. Ia terus mundur dan mencari tempat yang lebih longgar.

Melompat dan menangkis sambil beberapa kali menyabetkan pedangnya Dengan dahsyat, namun hanya udara yang disabetnya.

Sebaliknya, gerakan lincah Mpu Ranubhaya kian mantap.

Seperti burung sriti menukik-nukik di udara mengejar nyamuk. Cepat dan gencar. Maka pada kesempatan berikutnya, Rekyan Wuru tak dapat menduga apa yang terjadi. Suara pedang berbenturan cukup keras. Tangan kanannya merasa seperti kesemutan dan sekali lagi tebasan pedang lawan mampu melepaskan genggamannya. Ia terbelalak dengan mulut setengah menganga. Pedangnya jatuh tertancap di tanah lalu lelaki tua berpakaian compangcamping itu mengangkanginya dengan tawa terkekehkekeh.

"Sudahlah, Rekyan Wuru! Apa perlunya kau marahmarah di sepanjang jalan? Menyombongkan sisa-sisa kepandaianmu di masa lalu? Rekyan Wuru yang sekarang bukanlah Rekyan Wuru tiga windu lalu." Mendengar kata-kata Mpu Ranubhaya, Rekyan Wuru tercabik sudut kesadarannya. Ia berdiri seperti bocah yang sedang belajar berjalan. Tatap matanya berubah menjadi memelas dan mengiba Tubuhnya yang bersimbah keringat bergetaran.

Bibirnya meliuk-liuk, pandang matanya memudar, pelupuk matanya terasa hangat penuh dengan air mata. Ia mencuri pandang pada Mpu Ranubhaya yang membiarkannya berpikir.

"Yah... yaah... Rekyan Wuru yang sekarang adalah Rekyan Wuru yang sudah jompo. Rekyan Wuru yang sudah pikun," suara itu terdengar gemetar dan melemah.

Serak dan tercekat di tenggorokan.

"Rekyan Wuru! Jadilah orang tua yang baik, yang bijak.

Semakin tua seseorang harus semakin bijaksana, karena makin banyak yang dilihat. Kalau kau memiliki persoalan dengan anak muda itu, selesaikanlah dengan cara-cara yang seharusnya dipakai manusia. Kalau kau selalu menggunakan kekerasan, menggunakan pedangmu untuk menyelesaikan setiap persoalan, kau sama halnya dengan serigala yang bangga pada ketajaman taringnya. Tapi apa artinya seratus ekor serigala jika harus melawan manusia yang mempunyai akal budi, pikiran dan siasat?" Mpu Ranubhaya kemudian berpaling kepada Arya Kamandanu yang masih berdiri agak jauh dari mereka.

"Kamandanu!”

 “Ya, Paman.”

 “Antarkan dia menemui ayahmu.”

 “Baik, Paman," pemuda itu melangkah mendekati Rekyan Wuru yang membisu seribu bahasa. Tidak mau memandang pemuda yang melangkah dua depa di sisinya.

"Mari, Paman Wuru! Saya antarkan Paman Wuru menemui ayah saya. Paman bisa membicarakan persoalan Nari Ratih dengan Ayah." Arya Kamandanu kemudian mendahului Rekyan Wuru.

Pemuda itu menuntun kudanya sambil sesekali menoleh ke belakang di mana lelaki tua itu terus melangkah mengikutinya dengan wajah asam.

Mereka menempuh perjalanan sepanjang delapan pai untuk mencapai rumah Mpu Hanggareksa ayah Arya Kamandanu.

Mpu Ranubhaya memandang kepergian mereka dengan geleng-geleng kepala, mencabut pedang Rekyan Wuru dan membuangnya jauh ke belukar. Lalu ia pun melompat, lenyap di antara semak belukar.

Sesampai di rumah Mpu Hanggareksa, Rekyan Wuru segera menyampaikan maksud kedatangannya. Rekyan Wuru menuturkan dengan runtut semua peristiwa yang telah dialaminya dengan nada datar dan kurang bersahabat.

Wajahnya merah padam, matanya sesekali melirik tak ramah pada Arya Kamandanu yang duduk menunduk di samping ayahnya.

"Demikianlah maksud kedatanganku ini. Hanggareksa.

Ialah untuk menuntut pertanggungjawaban atas perbuatan yang telah dilakukan anakmu.”

 “Baiklah, Rekyan Wuru. Tapi aku belum bisa menerima tuduhanmu jika tidak ada bukti yang kuat. Kau juga harus ingat, bahwa tuduhan tanpa bukti bisa digolongkan fitnah.”

 “Tentu saja ada buktinya, Hanggareksa. Sekarang ini anakku jelas mengandung tiga bulan lamanya.”

 “Tapi laki-laki bukan hanya anakku, Rekyan Wuru. Bisa saja anak desa Manguntur sendiri yang berbuat tidak senonoh itu.”

 “Tidak, Hanggareksa. Ada keterangan seorang anak muda yang bisa kujadikan pegangan. Dangdi, anak Kepala DesaManguntur mengatakan, bahwa Arya Kamandanu-lah pelakunya. Sering kali dia melihat anakmu bercanda di tepi padang ilalang bukit Kurawan bersama anakku." Serta merta Mpu Hanggareksa melotot dan menatap tajam ke arah Arya Kamandanu yang masih duduk menunduk. Napas lelaki tua itu mendengus keras, bibirnya bergetar, "Apa benar begitu, Kamandanu?" tajam sekali pertanyaan itu Bahkan suaranya amat dalam dan menggetarkan.

"Eh, benar, Ayah," jawab Kamandanu jujur dan lugu.

"Benar? Jadi, kau yang telah menodai anak gadis Rekyan Wuru?" bentak Mpu Hanggareksa dengan mata semakin melotot. Bahkan laki-laki tua itu kini bangkit berdiri tepat di depan pemuda itu.

"Kau yang berbuat tak senonoh itu, Kamandanu?”

 “Tidak, Ayah. Tidak.”

 “Kamandanu, kau jangan main-main! Kau sedang bicara dengan ayahmu. Apa benar kau telah melakukan perbuatan tidak senonoh itu?”

 “Tidak, Ayah, saya tidak melakukannya.”

 “Awas! Kalau kau berani berdusta di depan ayahmu.

Lebih baik kau jujur, mengaku apa adanya, jangan berbolak-balik seperti kelakuan orang tidak waras.”

 “Tapi saya benar-benar tidak melakukannya, Ayah.”

 “Kurang ajar! Anak sial!" bersama hentakan kaki, tangan lelaki tua itu melayang dan mendarat pada pipi putranya.

Pemuda itu mengaduh dan hampir terpelanting dari kursi. Ia pasrah pada apa yang akan dilakukan ayahnya padanya, namun laki-laki tua itu tidak jadi menampar untuk yang kedua kalinya. Tangannya menggantung di udara.

Hanya suaranya yang menggeram bagaikan seekor singa yang ingin menerkam mangsanya.

"Kamandanu! Lebih baik aku tidak mempunyai anak seperti kamu." Bersamaan dengan itu, tangan kanan lelaki itu meraba gagang pedang yang terselip di pinggangnya, suaranya berdencing hingga Arya Kamandanu bergidik mendengarnya. Sebentar lagi ia akan menyusul ibunya.

Pikirnya dalam hati ia benar-benar pasrah saat pedang di tangan ayahnya telah diangkat tinggi-tinggi dan akan menebas lehernya. Bersamaan dengan itu ada seseorang yang berlari ke tengah-tengah mereka.

"Jangan, Ayah! Jangan!”

 “Dwipangga, apa maksudmu?”

 “Bukan Adi Kamandanu yang melakukannya. Oh, maafkan saya, Ayah, maafkan saya.”

 “Apa maksudmu, Dwipangga?”

 “Sayalah yang melakukannya. Sayalah yang berbuat tidak senonoh. Kalau Ayah mau memukul pukullah saya.

Kalau ayah mau membunuh, bunuhlah saya." Arya Dwipangga berlutut di depan ayahnya. Ia menyembah ayahnya dan memeluk kaki Mpu Hanggareksa yang masih menggenggam pedang terhunus.

"Arya Dwipangga, jadi rupanya kau biang keladi kekacauan ini. Kau yang membuat onar di desa Manguntur lalu kau bawa ke rumah ini! Kurang ajar! Hiih, hihh, hiihhh!" tiga kali tamparan sangat keras mendarat pada wajah pemuda itu. Bibirnya retak hingga mengeluarkan darah. Darah itu dibiarkan mengalir seiring air mata yang menetes di pipinya karena merasa sesal.

Rekyan Wuru yang sejak tadi hanya diam menyaksikan lakon di depannya kini ia bangkit dengan rahang mengeras dan terdengar giginya menggeretak. Ia benar-benar tidak suka melihat Arya Dwipangga. Matanya merah dan melotot galak. "Apa benar kau yang menodai kesucian anakku?”

 “Benar, Paman Wuru. Saya minta maaf atas kesalahan saya. Saya mencintai Nari Ratih, Paman.”

 “Cinta! Cinta! Itu bukan alasan untuk berbuat tidak pantas!" potong Mpu Hanggareksa keras dan marah pada putranya. Kaki kanan ayahnya dihempaskan dan menendang perutnya hingga Arya Dwipangga hampir terjengkang jika tidak bertumpu pada dua tangannya.

"Saya mengaku salah, Ayah. Saya benar-benar menyesal.”

 “Menyesal, apa gunanya? Luka sudah meninggalkan bekas. Bagaimana kulit bisa mulus lagi? Aku yang malu, Dwipangga.Malu sekali.Mukaku kusembunyikan di mana, ha! Hoooh, kali ini perbuatanmu sungguh-sungguh keterlaluan.”

 “Baiklah, Hanggareksa. Semuanya sudah jelas.

Selanjutnya tinggal bagaimana kita berdua sebagai orang tuanya.”

 “Aku mengerti, Rekyan Wuru. Memang anakku yang berbuat, maka aku sebagai orang tuanya harus ikut bertanggung jawab.”

 “Kalau begitu aku permisi dulu. Kita cari waktu yang baik untuk membicarakan masalah ini sebagaimana mestinya.”

 “Ya, ya. Silahkan, Rekyan Wuru." Mpu Hanggareksa mengantarkan tamunya sampai di luar pekarangan rumahnya Lelaki tua itu kembali dengan wajah resah.

Kusut sekali. Melangkah pun seperti tanpa otot.

Beberapa kali ia terpaksa menghentikan langkahnya sambil memegang dahinya.

Menggeleng-gelengkan kepala lalu mengurut dada sambil menghela napas yang dirasakan teramat berat dan sesak sekali. Matanya berkaca-kaca dan pandangannya berkunang-kunang.

Siang hari itu ia seperti orang bisu tuli. Tidak mau diganggu oleh siapa pun. Lelaki tua itu mengurung diri di dalam kamar sambil bersimpuh memohon ampun dan petunjuk pada Dewata Yang Maha Agung. Mpu Hanggareksa sampai mengeluarkan peluh dan air mata.

Keringatnya yang jatuh dari kening bagaikan tetes-tetes darah seiring asap dupa yang mengepul memenuhi ruangan.

Anak 90an, Masih Ingatkah 25 Jenis Permen Ini?

Generasi Millenial - adalah generasi kelahiran antara tahun 1981 - 1996 yang sebagian besar melewati masa anak-anak pada akhir millenium 19...